Senin, 18 November 2013
INFO TERBARU ^^
Bismillahirrrahmanirrahim,
Assalamu'alaikum...
Bagi anggota/nasabah dan masyarakat umum, sebentar lagi BTM Kajen akan menggelar beberapa kegiatan, dalam rangka MILAD BTM Kajen ke -14 pada tanggal 28 Nopember 2013 mendatang ^^...
Adapun Kegaiatan yang segera akan dilaksanakan adalah :
1. GERAK Jalan Akbar, pada hari 1 Desember 2013 (yang kurang jelas bisa Contact : 0285-381812)^^.. Raih doorprizenya... ada sepeda gunung, TV, Kompor gas, hape (**), kaos, tas dan souvenir lainnya.. ^^
2. Bakti Sosial, pembagian sembako baik bagi warga sekitar yang kurang mampu, maupun kepada nasabah lancar dan aktif utk tabungan harian ^^
3. Ini yang penting, BTM Kajen juga mengundang bagi yang ingin bergabung maju bersama BTM Kajen (yang muda, bersemangat, jujur dan siap bekerja keras^^), kita akan membuka lowongan pekerjaan untuk bagian MARKETING dan Bagian PENAGIHAN.. segera saja mulai dari sekarang yang ingin melamar, lowongan akan ditutup pada tanggal 7 Desember 2013
Neh lengkapnya :
Dibutuhkan SEGERA :
1. MARKETING (MR)
2. BAGIAN PENAGIHAN (BP)
Persyaratan :
Umum :
a. Beragama Islam
b. Warga Negara Indonesia
c. Berusia maksimal 27 tahun (per 31 Desember)
d. Berbadan sehat
e. Memenuhi tuntutan persyaratan jabatan
f. Bersedia mentaati peraturan-peraturan dan tata tertib yang berlaku dalam Perusahaan dan peraturan lainnya
g. Tidak terlibat dalam kegiatan/ keanggotaan dari Partai/ Organisasi yang dilarang oleh Pemerintah
h. Berkelakuan baik sesuai dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang
Khusus :
a. Mampu Membaca Alqur’an
b. Pria/Wanita
c. Berpenampilan menarik
d. Pendidikan Minimal D3
e. IPK Min. 2,75
f. Menyertakan Foto ukuran 4x6 2 lembar, transkrip nilai dan CV (daftar riwayat hidup)
g. Berdomisili di wilayah kabupaten Pekalongan, diutamakan di Kajen
h. Diutamakan mempunyai pengalaman di bidang marketing dilembaga keuangan/koperasi
i. Mempunyai kendaraan sendiri dan SIM C
j. Jujur dan siap bekerja keras
k. Mampu mengoperasionalkan komputer (Ms.Office)
Lamaran diberi KODE bagian yang dilamar di kiri atas amplop
**) Paling lambat lamaran dikirim tanggal 7 Desember 2013
Lamaran dikirim/diantar langsung ke :
KJKS BTM Kajen
Jl. Diponegoro 754 Kajen
Okay itu aja info terbarunya..
Wassalam...
Kamis, 31 Oktober 2013
AMAL
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.
Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.
Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Dan firman-Nya:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)
Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata:
Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)
Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)
Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.
Luasnya Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala
Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah subhanahu wa ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.
Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)
Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.
Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah subhanahu wa ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.
Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.
Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)
Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)
Dan tersebut dalam hadits:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)
Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?
Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.
Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)
Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Jumat, 12 April 2013
Abu Yusuf (Tokoh Ekonomi Islam)
Sejarah pemikiran ekonomi Islam yang saat ini terus berkembang, sebenarnya sudah diawali dan dijalankan pada periode kenabian Muhammad SAW. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara.
Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarahwan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad-abad yang lampau. Walaupun, pada kenyataannya para cendekiawan tersebut tidak memfokuskan pemikirannya dalam kajian ilmu ekonomi. Keadaan ini mengantarkan Islam pada masa kejayaannya dimana telah banyak memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap peradaban ekonomi dunia. Salah satu pemikir ekonomi Islam pada masa klasik adalah Abu Yusuf.
a. Biografi Abu Yusuf
Abu Yusuf mempunyai nama lengkap yaitu : Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al Ansari. Ia lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H). Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Sejak Abu Yusuf masih kecil, beliau mempunyai minat ilmiah yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang lemah, maka beliau bekerja mencari nafkah.
Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlulhadits dan ahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadits. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.
Hadits yang diriwayatkannya diperoleh dari guru-gurunya, antara lain Abi Ishaq al Syaibani, Sulaiman al Taymi, Yahya bin Said al Ansari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Ata’ bin Sa’ib, dan Muhammad Sihaq bin Yasir.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karier keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M beliapun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga beliau memegang jabatan dalam kehakiman. Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M.
b. Karir Abu Yusuf
Abu Yusuf adalah seorang mufti pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid. Jabatan penting yang pernah diamanahi pada Abu Yusuf :
1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Abbasiyah, al Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun 169-170 H/785-786 M. Jabatan yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya.
2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H/786-809 M, beliau menjabat sebagai ketua para hakim (Qadi al Qudah, seperti ketua Mahkamah Agung pada masa sekarang) pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah sampai pada masa Khalifah al Mahdi dari Daulah Abbasiyah. Pada masa ini, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para hakim di seluruh negeri.
c. Keahlian Bidang
Secara umum, Abu Yusuf banyak mendalami ilmu hadits & fikih. Karena kertertarikan beliau dalam bidang fikih, beliaupun belajar pada Imam Abu Hanifah. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi.

Langganan:
Postingan (Atom)
VISI MISI KSPPS Baitut Tamwil Muhamka
VISI Terwujudnya Lembaga Keuangan Syariah yang Unggul dan Berkualitas MISI 1. Melaksanakan dakwah Bil Hal dalam Muamalah Ekonomi Syariah- k...
-
BTM Pekalongan, Kantor Cabang Kajen siap melayani Talangan Umroh, bagi mitra/anggota yang siap menjalankan ibadah Umroh di Mekah... Sila...
-
BERCEMIN PADA SOSOK PENDIRI MUHAMMADIYAH Oleh Imam Nurdin *) KHA. Dahlam, sebagai pendiri Muhammadiyah selagi hayat telah meletakan dasar-da...
-
Kantor Pesat KSPPS Baitut Tamwil MuhamKa SEJARAH SINGKAT KSPPS BAITUT TAMWIL MUHAMMADIYAH KAJEN (KSPPS BT MUHAMKA) Berdirinya Baitut Tamwi...